Senin, 01 November 2010

TITI TATA PERKAWINAN SUKU SASAK

Titi Tata Perkawinan Adat Sasak

Sebelum memasuki prosesi perkawinan secara adat, bangse Sasak (orang Sasak) mengenal istilah Midang. Kata mi berasal dan bahasa Kawi Jawa Kuno) bermakna acang krama-beroja-nbekedek (bercengkarama).

Menurut islilah Sasak, midang adalah seorang pemuda pergi berkunjung ke rumah gadis atau janda, dengan catatan Si pemuda yang berkunjung ada rasa suka. Waktu untuk midang hanya malam hari antara pukul 20.00 sampai pukul 23.00. Ada juga yang midang siang hari, tapi itu kurang patut karena akan menghambat orang sedang bekerja. Sebenarnya cara midang ini untuk Jajar Karang (adat lama). Orang yang bukan Menak (bangsawan) dilarang saling pidangin seperti yang disebut di atas. Tetapi banyak penlalu (menak) yang kurang tertib menaati adat, mereka tetap saja melakukan midang, harus ditemani oleh gadis, ada juga menak midangin sesama menak, semulanya itu dilarang karena tidak sesual dengan adat terdahulu.

Macam-macam cara pendekatan menuju perkawinan dalam adat Sasak:
1. Ngujangà Berkunjung ketepat kerja Si gadis dan membawa makanan kesukaan si gadis.
2. Merewehàsi gadis mengundang si pemuda untuk makan dirumahnya, lalu si pemuda yang membawakan bahan baku untukdimasaksigadis (makan bersama).
3. Nyangkokà orang yang datang midang, pulang kelewat malam karena hujan atau takut dirampok, terpaksa menginap dirumah Si gadis dan diberikan izin oleh tuan rumah. Hal ini perbolehkan bila mereka akan segera menikah.
4. Pembugià membenikan sesuatu yang membuat senang hati si gadis.
5. Subandarà sama artinya dengan perantara (ma’ comblang), pendekatan kepada si gadis dengan bantuan subandar.

Dasar Pernikahan Adat Sasak

Ada macam-macam cara orang Sasak untuk merari’ (melarikan) atau bebait (melamar) calon istrinya. Cara seperti ini memang digunakan oleh bangsa Sasak, ada dengan cara baik-baik, ada pula dengan cara yang kurang baik. Cara yang kurang baik itu akan mendapatkan denda (sanksi) namun perbuatan tersebut telah dianggap sah atau sudah berlaku.
Ada beberapa dasar terjadi wong ajatrukrama (perkawinan) dalam adat Sasak, adalah sebagai berikut:

1. Teperondong
Perkawinan yang terjadi karena sudah dijanjikan akan dikawinkan sejak masih kecil bila umurnya telah memadai alau dewasa. Biasanya anak yang telah dijanjikan untuk dinikahkan ini memiliki hubungan darah, dan kedua pihak memang berkenan untuk mempertemukan kedua anaknya. Pemuda atau gadis yang telah teperondong tidak boleh di-pidang atau disukai oleh orang lain apalagi menikah dengan orang lain.

2. Kapanjing
Cara ini merupakan cara orang dulu (kuno), tidak pantas digunakan untuk saat ini. Anak gadis yang cantik bila disukai oleh Datu atau perkangro, menak lalu diambil (diajak menikah) tanpa persejutuan. Suka atau tidak si gadis atau ibu bapaknya harus menyerahka anak gadisnya, bila menolak akan mendapatkan hukuman, bahkan hukuman mati.

3. Kahabil
Gadis jajar karang (hamba sahaya) diambil (akan dijadikan istri) oleh pemuda menak (bangsawan) dengan cara yang baik-baik. Kadang-kadang (cara orang terdahulu) cukup dengan cara dimusyawarahkan dengan ibu bapaknya, si gadis mau tak mau wajib mengikuti. Cara yang berlaku sekarang, dapat dilakukan dengan syarat si gadis atau janda asalkan mereka memang ada rasa atau menyukai pemuda tersebut.

4. Beboyongan
Ini termasuk cara masa lampau, jaman datu perdatu masih sering mesiat (perang)

5. Merari’
Mengambil (mencuri) gadis yang telah sanggup untuk diambil secara diam-diam. Tidak diketahui orang tua Si gadis.

6. Belako’
Sama artinya dengan Ngelamar. Si gadis yang akan dilamar memiliki hubungan dekat dan sekupu (sepadan, sederajat).

7. Balegandang
Si gadis diambil dengan paksa dari orang lain yang telah mengambil terlebih dahulu atau diambil dihadapan ibu bapak si gadis.

8. Murugul
Si gadis diambil cara dirayu, lalu dicumbui bahkan disetubuhi sehingga si gadis malu untuk kembali ke rumah atau orang tuanya.

9. Meneken - Atong Diri
Si gadis datang mengantar dirinya, dengan membawa tikar dan bantalnya sebagai tanda. Serta diantar oleh satu warisnya, lalu kawin dengan si pemuda.

10. Ngekeh
Seorang pemuda serahkan diri, diantar oleh satu warisnya, dengan membawa pemaja atau cula
(senjata tajam) sebagai tanda.

11. Kapahica
Pernikahan yang terjadi bila kedudukan si gadis memiliki derajat Iebih tinggi dibandingkan dengan si pemuda karena suka sama suka. Namun, karena Si pemuda setia pada datu-nya, dan berbudi pekerti baik, sehingga pernikahan tersebut direstui. Memang sengaja dijodohkan oleh orang tua si gadis.

12. Katrimanan
Pernikahan yang terjadi bila kedudukan si pemuda Iebih rendah dibandingkan dengan Si gadis, namun karena si pemuda dipandang berwibawa, berbakti dan memiliki banyak budi jasa, maka orang tua si gadis merestui pernikahan anaknya. Berdasarkan suka saling suka, namun bedanya dengan kapahica, katriman tanpa ada rekayasa orang tua gadis.

13.Nyerah Hukum
Kedudukan yang menyerahkan hukum itu bila si pihak pemuda tidak dapat melaksanakan tata Iaksana ada sorong serah.

Prosesi Perkawinan Adat Sasak
Bila tahapan pendekatan si pemuda benjalan dengan baik dan berhasil mendapatkan hati si perempuan, maka pemuda akan mengambil Iangkah-Iangkah selanjutnya sesuai dengan adat perkawinan bangsa Sasak.

Prosesi tersebut terdiri dan beberapa tahapan yaitu:
1. Merari’ (Melai’)
Prosesi merari’ atau melai’ adalah proses mengambil si gadis yang akan dijadikan istri (melarikan gadis). Setelah bangse Sasak mengenal ajaran Islam, dalam adat merari’ dilarang kedua pasangan Iangsung bersetubuh, sebelum halal nikah secara Islam.

2. Besejati & Selabar
Mengabari pihak perempuan bahwa anak gadisnya telah diambil oleh si pemuda untuk dinikahi oleh si pemuda.

3. Nuntut Wali
Mencari wali, sesuai syariat Islam, yang pantas menikahkan si gadis. Sebelum acara sorong serah
selesai.

4. Bait Janji
Adalah proses utusan yang akan membicarakan bagaimana penyelesaian masalah adat sorong serah. Bagaimana dengan jalannya mas kawin, hari bula untuk gawe (acara pernikahan) dan proses pernikahan.

5. Utusan (Panji)
Seorang yang pantas menjadi penglampah (utusan) adalah orang yang terpilih dan dapat dipercaya untuk membicarakan penyelesaian terhadap berbagai masalah pernikahan secara adat.

6. Pisuka Ian Gantiran
Proses menimbang kesepakatan antar kedua belah pihak (pria & perempuan) sebagai ganti atas kehilangan anak perempuan. Ada paham yang menyatakan pisuka itu adalah membayar atas kerelaan ibu bapak si gadis.

7. Aji Krama
Artinya nilai (aji) sekumpulan penduduk suatu desa atau wilayah. Ada pembayun (orang yang menyerahkan Aji Krama). Aji Krama sebagai harga pensucian-harga pembersih atas nilai kemanusiaan.

8. Arta Gegawan
Adalah harta atau uang yang akandibawa untuk diserahkan kepada pihak perempuan sebagai penunjang jalannya acara adat.

9. Pembayun
Adalah manunisa yang jadi didepan (juru bicara), untuk menentukan besar kecilnya aji krama, alau dengan kata lain pembayun adalah pimpinan utusan yang menjadi piranti adat.

1O.Nyerompang (Sugul)
Nyerompang (melompati, sugul artinya keluar) artinya melangar adat dalam melakukan perkawinan. Dalam prosesi perkawinan adat Sasak, nyerompang perlu diatasi agar tidak terjadi putusnya tali silaturahmi dan keluar dan kepercayaan (agama) sebelum pernikahan. Sehingga hal ini perlu untuk diantisipasi terlebih dahulu melalui musyawarah berdasarkan awiq-awiq (aturan adat).

11.Begawe
Pesta-kenduri-perhelatan-selamatan alas pernikahan yang terjadi.

12. Resepsi Adat
Acara tambahan setelah prosesi adat selesai dilaksanakan berisikan sambutan atas nama keluarga, nasihat perkawinan, doa dan ucapan selamat.

13 Mendakin Lan Peraja
Artinya tunduk atau hormat. Prosesi ini adalah penghormatan terhadap pihak pengantin (bangsawan atau datang dan luar desa).

14. Bales Hanos Nae
Arti secara umum adalah tapak tilas. Dalam adat Sasak tapak tilas ini bermakna kembali ke rumah pengantin perempuan, biasanya pada saat malam.

Keterangan:
Sekupu (Syarat Terjadinya Pernikahan dalam Bangsa Sasak)
Dalam bahasa Sasak, sekupu berarti sepadan, sederajat, setanding dan sebangsa. Ukuran untuk menandakan sekupu atau tidak adalah:
a. Utama sekali agar satu iman (Islam), orang mukmin nikah dengan orang mukmin.
b. Sama kuat memegang syariat agama dengan tata krama, adigama dengan Susila.
c. Sekupu wangsana (sepadan derajatnya), Raden bersanding Dende,
Lalu Bersanding Baiq, Datu bersanding Nene’ bini, Lo’ bersanding La’.
d. Sekupu persanakana (sepedan peranakkannya), tidak akan sepadan bila paman dengan kepanakan atau keponakan dengan bibi, karena akan merusak tata bahasa pemanggilan dalam garis besar keluarga (dalam bagian ini ada yang dihalalkan menikah ada yang haram menurut Islam). Bila pernikahan tersebut hanya berakibat menurak tata bahasa tetapi halal menikah, maka akan dikenakan denda peleburbasa (menyatukan bahasa pemanggilan). Dipandang haram menikah bila beristrikan anak saudara atau bibinya atau lainnya yang diharamkan untuk dinikahi menurut Islam dinamakan bero atau gamia gamana, dan akan dihukum mati atau sekurang-kurangnya diikat di tengah hutan rimba sampai mati.

BABAD SELAPARANG

Babad
Selaparang

Rahayuih Kawo Lade
Hinggih Pemban
Selaparang
Purwe Sila Adat Gama
Hinggih Pemban
Selaparang..........

Pulau Lombok bermula bernama watu parang, kemudian berubah menjadi Selaparang (bahasa kawi, sela berarti batu, parang berarti karang ) dalam memori kedadatangan Gajah Mada di Lombok waktu itu disebut dengan Sela Pawis (sela artinya batu, pawis artinya ditaklukkan).

Sampai akhir abad ke 19 nama pulau Lombok Iebih dikenal dengan nama Selaparang, yakni nama kerajaan di Lombok Timur yang berkembang pada abad pertengahan abad ke 14. Kerajaan Selaparang tumbuh dalam dua periode. Selaparang Pra Islam dan abad ke 13 sampal tahun 1357, dan Kerajaan Selaparang Islam dan abad ke 16 s/d tahun 1740. Mengenai nama Lombok, dalam “babad Lombok” disebutkan bahwa Raja yang memerintah seluruh Pulau ini bernama Lombok dan berkedudukan di Sebuah teluk yang indah, yang tempat kedudukan itu beserta seluruh kekuasaannya kemudian dinamakan “Lombok”.

Kerajaan Lombok merupakan kerajaan yang terkemuka yang tersohor karena keindahannya dan merupakan pelabuhan yang ramai didatangi oleh pedagang dan Palembang, Banten, Gersik, dan Sulawesi. Pada masa itu Selat Alas ramai dilayari oleh kapal-kapal dan perahu yang singgah di pelabuhan bongkar muat dan mengisi air minum, Di teluk itu sampai sekarang terdapat sumber mata air beberapa buah banyaknya. Dalam sejarah VOC pertama kali diberitakan oleh Steven van der Hagen pada tahun 1603, bahwa di Lombok banyak beras murah dan hampir setiap hari diangkut ke Bali dengan Sampan, maka tidak mustahil bahwa yang mempopolerkan nama Lombok ini orang luar, bagi penduduk asli sendiri lebih populer untuk nama daerah mereka “Gumi Sasak” atau “Gumi Selaparang”.

Setelah keruntuhan Kerajaan Majapahit, maka kerajaan-kerajaan kecil di Lombok seperti, Langko, Pejanggik, Parwa, Sokong dan Bayan dan beberapa desa seperti Pujut, Tempit, Kedaro, Batu Dendeng, Kuripan, Kentawang menjadi merdeka. Menjelang kedatangan agama Islam terjadi pemberontakan yang dipimpin Prabu Brang Bantun yang menuntut balas atas kematian adiknya Patih Sandubaya. Pemban Selaparang diganti oleh Prabu Rangkasari, yang kemudian memadamkan pemberontakan itu. Beberapa tahun kemudian datanglah Pangeran Prapen putra Sunan Ratu Gin yang meng-Islamkan kerajaan Selaparang.

Dari selaparang Islam dikembangkan ke Pejanggik, Parwa, Sokong, Bayan dan desa kecil lainnya. Dalam beberapa tahun kemudian seluruh pulau Lombok memeluk agama Islam, kecuali Pajarakan dan Pengantap. Di Kerajaan Sokong rakyat yang tidak mau memeluk Islam lari ke gunung-gunung. Dan Lombok Sunan Prapen meneruskan misinya ke Pulau Sumbawa dan berhasil gemilang tanpa perlawanan.

Sepeninggal Sunan Prapen, Prabu Rangka Sari memindahkan pusat kerajaan ke bekas pusat Kerajaan Selaparang Hindu atas usul Patih Singa Yuda dan Banda Yuda dengan pertimbangan pertahanan agar tidak mudah diserang musuh. Pada saat inilah Selaparang mencapal puncak keemasan menghagemoni di seluruh Pulau Lombok, berkembang sebagai pusat penyebaran agama Islam. Saat itulah hubungan dengan kerajaan Demak menjadi sangat erat yang didasarkan dengan kesamaan misi religius.
Sementara itu Selaparang mendapat gangguan dan kerajaan Gelgel yang merasa terusik dengan kemajuan Islam di Lombok. Pada tahun 1520 Gelgel mencoba menaklukkan Selaparang tetapi gagal. Tahun 1530 GeIgel menempuh starategi baru dengan memasukkan faham baru berupa singkritisme Hindu-Islam, dengan mengirim Dangkiang Nirarta.

Kedatangari VOC Belanda ke Indonesia yang menguasai jalur perdagangan di utara telah menimbulkan kegusaran Raja Goa, sehingga menutup jalur perdagangan selatan dengan cara menguasai Pulau Sumbawa dan Selaparang. Dan untuk membendung misi Kristenisasi menuju ke barat, maka Goa juga menduduki Flores Barat, di situ dibangun kerajaan Manggarai.

Pada tahun 1618 kerajaan—kerajaan kecil di Sumbawa Barat ditaklukkan dan dipersatukan oleh kerajaan Goa. Kerajaan Gelgel merasa dirugikan oleb meluasnya pengaruh kerajaan Goa. Agar Gelgel tidak meminta bantuan Belanda maka Goa mendekati Gelgel dengan menandatangani perjanjian pembagian penyebaran pengarub yang dilaksanakan oleh Saganing dengan Alaudin pada tahun 1624. Pada tahun 1633 Bima ditaklukkan Goa, berikut Tambora, Sanggar dan Dompu. Tindakan Goa sesungguhnya mencemarkan perjanjian yang telah dibuat, narnun karena kerajaan Gelgel sedang terjepit oleh Mataram dan barat maka sementara tidak bisa berbuat apa-apa. Kondisi Gelgel tersebut dimanfaatkan oleh Soa untuk menaklukkan Selaparang pada tahun 1640. Dengan takluknnya Selaparang, kerajaan-kerajaan kecil di Lombok mengakui kekuasaan Goa. Dalam mengembangkan pengaruhnya, dilakukan dengan cara damai melalul perkawinan. Pada saat itu gelar raja-raja disebut dengan Pemban, seperti: Pemban Selaparang, Pemban Pejanggik, Pemban Parwa, sedang untuk kerajaan desa kecil pemimpinnya disebut dengan Datu: Datu Bayan, Datu Sokong, Datu Kuripan, Datu Pujut dll.

Menurut berita dan Makassar pada tanggal 30 Nopember 1648, Putra raja Selaparang menjadi Raja di Sumbawa. Menurut tesis A.A Cense: “De Kroniek van Banjarmasin” mencatat bahwa Sumbawa dan Lombok merupakan satu kerajaan yang berpusat di Lombok. Akhir abad ke 17 merupakan puncak kejayaan dan dua Kerjaan Besar yakni Selaparang di Lombok Timur dan Pejanggik di Lombok Tengah. Kerajaan Pejanggik yang dipimpin oleh Pemban Mas Mraja Kusuma mengembangkan pengaruhnya terlebih setelah diangkatnya Banjar Getas (Arya Sudarsana) menjadi senapati. Kerajaaan kecil seperti Tempit, Kuripan dan Kentawang dan lain- lain ditaklukkan, dijadikan kademangan (wilayah taklukan), hal mi membuat mereka sakit hati dengan kebijakan yang diambil oleh Pejanggik.

Pada saat yang hampir bersamaan, hubungan Goa dengan VOC makin meruncing, pertempuran sering terjadi baik di laut maupun di darat. Pusat kerajaan dipindahkan ke Sumbawa dimaksudkan untuk memusatkan kekuatan melawan VOC. Daerah Selaparang dipandang kurang aman dan tidak strategis lagi karena ancaman Gelgel dan barat, terlebih lagi Kondisi Goa yang dipimpin oleh Sultan Hasanudin terjadi perpecahan, ia dihianati oleh beberapa bangsawan Goa. Mengingat keadaan rakyat dalam penderitaan yang tidak berkesudahan, maka terpaksa pada tanggal 18 Nopember 1667 ia menandatangani perjanjian Bungaya. Setelah itu VOC berusaha menguasai pengaruh Goa dan Pulau Lombok dan Sumbawa. Setelah VOC mengalahkan kerajaan Goa dan mengusirnya maka kerajaan Lombok dan Sumbawa dianggap menjadi satu kerajaan. Hal ini diketahui dari berita-berita kira kira tahun 1673 dan 1680, bahwasanya raja Sumbawa bertanggung jawab atas wilayah Lombok Timur.

Pada tanggal 16 Maret tahun 1675 timbul pemberontakan di Selaparang. Untuk memadamkan pemberontakan itu VOC mengirim pasukan dibawah pimpinan Kapten Holsteijn. Pemberontakan dapat dipadamkan. Selaparang diwajibkan untuk membayar kepada kompeni sebanyak 15.000 pikul kayu Sepang dalam jangka waktu 3 tahun dengan jaminan Raja Sumbawa meskipun kekuasannya atas Selaparang telah dicabut. Kewajiban tersebut ditanda tangani oleh Raja Sumbawa dan dari pihak VOC diwakili oleh Jan France Holsteijn, Gerrit Caster dan Coen Mat van Breijtenbach.

Setelah Gelgel lepas dan ancaman Mataram kini ia mulai mencurahkan perhatian ke Selaparang dengan mengirim dua ekspedisi pada tahun 1677 dan 1678. Kedua ekspedisi tersebut dapat digagalkan Selaparang berkat bantuan orang-orang Makasar dari Sumbawa. Setelah kehancuran Goa oleh VOC tahun 1668, pusat penjuangan Goa melawan VOC dialihkan ke Pulau Sumbawa dibawah pimpinan, Daeng Teolo, Karaeng Jerinika dan Karaeng Pamelikan.

SOSIAL BUDAYA

MAKNA PERKAWINAN ADAT SASAK
Perkawinan dalam adat Sasak tak seperti membalik telapak tangan, namum membutuhkan serangkaian prosesi dan harus dilaksanakan secara Iengkap. Prosesi tersebut dikenal dengan sorong serah, yaitu serah terima atau ijab kabul secara adat, bermakna menguatkan ikatan antara kedua insan yang menikah dan juga memperkuat tali silaturahmi antara keluarga laki-laki dan perempuan. Sorong serah ini adalah bagian inti dan perkawinan adat Sasak, sebagai penentu sah atau tidaknya suatu perkawinan.
Sebelum menginjak prosesi perkawinan, dalam adat Sasak diawali dengan tahap pendekatan seorang lakilaki terhadap perempuan yang disukainya dalam bahasa Sasak dikenal dengan istilah midang, berasal dali bahasa Kawi (Jawa Kuno) bermakna acang krama-broja-nbekedek (bercengkrama). Menurut istilah Sasak, pengertian midang adalah seorang pemuda pergi berkunjung ke rumah gadis atau janda, dengan catatan si pemuda yang berkunjung ada rasa suka dengan si yang dikunjungi. Ini adalah tahap memperkenalkan diri seorang laki-laki secara lebih untuk pencarian kecocokan disegala aspek kehidupan.
Waktu untuk midang hanya diperbolehkan malam hari antara pikul 20.00 sampai pukul 23.00. Ada juga yang midang siang hari, tapi itu kurang patut karena akan menghambat orang sedang bekerja. Midang memiliki arti penting untuk memasuki prosesi pernikahan adat, sebab tanpa melalui midang, tidak diperbolehkan untuk memasuki prosesi awal pernikahan adat yaitu merari’ (melarikan perempuan). Sebelumnya merari’ diidentikkan dengan maling, ini kekeliruan cara pandangan masyarakat luar Lombok terhadap adat perkawinan Sasak. Sebenarnya bukan tanpa maling tapi paling. Ada dialog orang tua dahulu disaat mendekati proses merari’. Percakapan yang sangat rahasia antara orang tua laki-laki dengan orang tua perempuan, yang boleh mendengarkan adalah orang yang paling dipercaya oleh kedua belah pihak, percakapan tersebut berisikan informasi dan orang tua laki-laki bahwa anak mereka telah saling menyukai dan meminta kepada orang tua perempuan agar berkenan merestui pernikahan anak mereka. Umumnya orang tua perempuan awalnya akan menolak dengan alasan bahwa anak perempuannya belum siap, namun orang tua laki-laki tetap mempertahankan permohonannya.

Dalam kondisi ini, bila orang tua perempuan tidak setuju anaknya dinikahi oleh laki-laki tersebut, pihak laki-laki tetap berhak untuk merari’ dengan perempuan asal saling menyukai. Namun pihak laki-laki harus menanggung resiko bila anak perempuan tersebul diambil paksa atau dicegat dijalan oleh orang tua perempuan atau aki-laki yang menyukai perempuan tersebut.

Bila pula orang tua perempuan setuju anak perempuannya diserahkan ke pihak laki-laki, sehingga munculah dialog “sila pelungguh bait anak tiang,lagu’palingin entan elek tiang” artinya silahkan bawa anak perempuan saya, tapi mohon pa!ingkan dari hadapan saya, maksudnya jangan sampai saat mengambil anak perempuannya dihadapan orang tua perempuan. Setelah ada persetujuan seperti ini, tersirat makna bahwa orang tua perempuan rela anak perempuannya dibawa oleh laki-laki yang dicintai si perempuan. Maka tak lama kemudian dilanjuti oleh proses merari’.
Dalam perkawianan adat Sasak, merari’ bermakna mengambil perempuan secara diam-diam jangan sampai diketahui orang lain, apalagi pihak perempuan. Bila diketahui pihak perempuan maka akan dikenakan denda sebagal sanksi pelanggaran adat. Merari’ artinya membawa Iari, mengandung maksa filosofi yaitu bila anak perempuan diminta terus terang, orang tua perempuan akan tersinggung karena anak perempuannya disamakan dengan benda atau barang lainnya.

Selain itu, sebagai bentuk laki-laki dan perempuan yang merari’ telah mampu memegang tanggungjawab untuk mandiri menjalankan kehidupan bersama. Makna lainnya adalah orang tua laki-laki sudah berari berang, maksudnya siap mengambil resiko atas perbuatan anak Iaki-Iakinya. Dan pentingnya adalah menyerahkan pilihan kepada anak perempuan untuk menentukan laki-laki yang ia cintai, tanpa ada campur tangan orang tua perempuan, sehingga bila ada misan/ sepupu atau orang lain yang juga mencintai perempuan tersebut, orang tua perempuan tidak dapat dipersalahkan karena itu adalah pilihan anaknya, dengan tujuan agar hubungan kekeluargaan dan silahturahmi tetap mesra dengan pihak lain.

Merari’ harus malam hari dan di rumah perempuan. Bila tidak dirumah perempuan akan didenda sebagai sanksi pelanggaran adat. Menari’ juga dilarang jika waktunya bersamaan dengan midang, artinya bila laki-laki datang midang lalu Iangsung saja membawa perempuan untuk prosesi merari’ sama artinya ia menculik anak perempuan dihadapan orang tua perempuan. Hal ini termasuk dalam pelanggaran adat perkawinan Sasak.

Setelah merari’ dilaksanakan maka ada kewajiban adat yang harus dilaksanakan yaitu besejati dan selabar. Bersejati berasal dan kata “jati” (artinya benar atau yakin, yaitu proses melapor kepada kepala lingkungan (kliang) laki-laki dan perempuan berdomisili oleh pihak laki-laki, bahwa telah membawa Iari anak perempuan, serta menjelaskan nama dan alamat orang tua perempuan, dengan tujuan bila orang tua melapor ke kepala lingkungan bahwa ia kehilangan anak perempuan, maka kepala lingkungan dapat menjelaskan perihal kejadian sehingga tidak memberatkan permasalahan. Begitu pula kepala lingkungan tempat berdomisili laki-laki tidak curiga bila ada perempuan tak dikenal di daerahnya, hal ini untuk mencegah terjadinya fitnah.

Sedangkan Selabar berasal dan kata abar (bahasa kawi antinya bersmnar-sinar, terang), yaitu proses anak perempuan mereka telah dibawa oleh laki-laki yang mencintai anak penempuan mereka. Dalam adat penkawinan Sasak bila tidak melakukan kesulitan untuk nuntut wali, karena orang tua perempuan menganggap anaknya diculik.

Selanjutnya masuk pada tahap nuntut wali yaitu prosesi mencari wali, sesuai syariat Islam, yang pantas menikahkan si gadis sebelum acara sorong serah dilaksanakan. Pernikahan menurut agama terjadi dalam proses ini. Setelah itu dilakukan bait janji adalah proses musyawarah utusan kedua belah pihak untuk membicarakan bagaimana penyelesaian masalah adat untuk prosesi sorong serah, aji krama yang dipergunakan untuk acara sorong serah, sekaligus membahas besarnya arta gegawean (adalah harta atau uang yang akan dibawa untuk diserahkan kepada pihak perempuan sebagai penunjang jalannya acara adat). Dalam proses ini terjadi pula prosesi pisuka Ian gantiran, yatu proses menimbang kesepakatan antar kedua belah pihak (laki-Iaki & perempuan) sebagal ganti atas kehilangan anak perempuan. Ada paham yang menyatakan pisuka itu adalah membayar atas kerelaan orang tua perempuan melepas anaknya.

Setelah semua tahap dilakukan, maka dilakukanlah sorong serah sebagai petanda legalitas perkawinan menurut adat Sasak. Tahapan-tahapan ini adalah prosesi inti dari perkawinan adat Sasak, dan dilengkapi prosesi adat lainnya antara lain nyongkol yaitu prosesi untuk mempublikasikan bahwa kedua insan telah menikah, begawe (pesta-kenduri-perhelatan-selamatan atas pernikahan yang terjadi), resepsi adat (acara tambahan setelah prosesi adat selesai dilaksanakan berisikan sambutan atas nama keluarga, nasihat perkawinan, doa dan ucapan selamat) dan bales honor nae (secara umum adalah napak tilas).

Dalam adat Sasak napak tilas ini bermakna kembali ke rumah pengantin perempuan, biasanya pada saat malam).

(Lalu Sadarudin, Ketua PEMBASAK/Lembaga Pengemban Budaya-Adat Sasak Kota Mataram)