Senin, 01 November 2010

SOSIAL BUDAYA

MAKNA PERKAWINAN ADAT SASAK
Perkawinan dalam adat Sasak tak seperti membalik telapak tangan, namum membutuhkan serangkaian prosesi dan harus dilaksanakan secara Iengkap. Prosesi tersebut dikenal dengan sorong serah, yaitu serah terima atau ijab kabul secara adat, bermakna menguatkan ikatan antara kedua insan yang menikah dan juga memperkuat tali silaturahmi antara keluarga laki-laki dan perempuan. Sorong serah ini adalah bagian inti dan perkawinan adat Sasak, sebagai penentu sah atau tidaknya suatu perkawinan.
Sebelum menginjak prosesi perkawinan, dalam adat Sasak diawali dengan tahap pendekatan seorang lakilaki terhadap perempuan yang disukainya dalam bahasa Sasak dikenal dengan istilah midang, berasal dali bahasa Kawi (Jawa Kuno) bermakna acang krama-broja-nbekedek (bercengkrama). Menurut istilah Sasak, pengertian midang adalah seorang pemuda pergi berkunjung ke rumah gadis atau janda, dengan catatan si pemuda yang berkunjung ada rasa suka dengan si yang dikunjungi. Ini adalah tahap memperkenalkan diri seorang laki-laki secara lebih untuk pencarian kecocokan disegala aspek kehidupan.
Waktu untuk midang hanya diperbolehkan malam hari antara pikul 20.00 sampai pukul 23.00. Ada juga yang midang siang hari, tapi itu kurang patut karena akan menghambat orang sedang bekerja. Midang memiliki arti penting untuk memasuki prosesi pernikahan adat, sebab tanpa melalui midang, tidak diperbolehkan untuk memasuki prosesi awal pernikahan adat yaitu merari’ (melarikan perempuan). Sebelumnya merari’ diidentikkan dengan maling, ini kekeliruan cara pandangan masyarakat luar Lombok terhadap adat perkawinan Sasak. Sebenarnya bukan tanpa maling tapi paling. Ada dialog orang tua dahulu disaat mendekati proses merari’. Percakapan yang sangat rahasia antara orang tua laki-laki dengan orang tua perempuan, yang boleh mendengarkan adalah orang yang paling dipercaya oleh kedua belah pihak, percakapan tersebut berisikan informasi dan orang tua laki-laki bahwa anak mereka telah saling menyukai dan meminta kepada orang tua perempuan agar berkenan merestui pernikahan anak mereka. Umumnya orang tua perempuan awalnya akan menolak dengan alasan bahwa anak perempuannya belum siap, namun orang tua laki-laki tetap mempertahankan permohonannya.

Dalam kondisi ini, bila orang tua perempuan tidak setuju anaknya dinikahi oleh laki-laki tersebut, pihak laki-laki tetap berhak untuk merari’ dengan perempuan asal saling menyukai. Namun pihak laki-laki harus menanggung resiko bila anak perempuan tersebul diambil paksa atau dicegat dijalan oleh orang tua perempuan atau aki-laki yang menyukai perempuan tersebut.

Bila pula orang tua perempuan setuju anak perempuannya diserahkan ke pihak laki-laki, sehingga munculah dialog “sila pelungguh bait anak tiang,lagu’palingin entan elek tiang” artinya silahkan bawa anak perempuan saya, tapi mohon pa!ingkan dari hadapan saya, maksudnya jangan sampai saat mengambil anak perempuannya dihadapan orang tua perempuan. Setelah ada persetujuan seperti ini, tersirat makna bahwa orang tua perempuan rela anak perempuannya dibawa oleh laki-laki yang dicintai si perempuan. Maka tak lama kemudian dilanjuti oleh proses merari’.
Dalam perkawianan adat Sasak, merari’ bermakna mengambil perempuan secara diam-diam jangan sampai diketahui orang lain, apalagi pihak perempuan. Bila diketahui pihak perempuan maka akan dikenakan denda sebagal sanksi pelanggaran adat. Merari’ artinya membawa Iari, mengandung maksa filosofi yaitu bila anak perempuan diminta terus terang, orang tua perempuan akan tersinggung karena anak perempuannya disamakan dengan benda atau barang lainnya.

Selain itu, sebagai bentuk laki-laki dan perempuan yang merari’ telah mampu memegang tanggungjawab untuk mandiri menjalankan kehidupan bersama. Makna lainnya adalah orang tua laki-laki sudah berari berang, maksudnya siap mengambil resiko atas perbuatan anak Iaki-Iakinya. Dan pentingnya adalah menyerahkan pilihan kepada anak perempuan untuk menentukan laki-laki yang ia cintai, tanpa ada campur tangan orang tua perempuan, sehingga bila ada misan/ sepupu atau orang lain yang juga mencintai perempuan tersebut, orang tua perempuan tidak dapat dipersalahkan karena itu adalah pilihan anaknya, dengan tujuan agar hubungan kekeluargaan dan silahturahmi tetap mesra dengan pihak lain.

Merari’ harus malam hari dan di rumah perempuan. Bila tidak dirumah perempuan akan didenda sebagai sanksi pelanggaran adat. Menari’ juga dilarang jika waktunya bersamaan dengan midang, artinya bila laki-laki datang midang lalu Iangsung saja membawa perempuan untuk prosesi merari’ sama artinya ia menculik anak perempuan dihadapan orang tua perempuan. Hal ini termasuk dalam pelanggaran adat perkawinan Sasak.

Setelah merari’ dilaksanakan maka ada kewajiban adat yang harus dilaksanakan yaitu besejati dan selabar. Bersejati berasal dan kata “jati” (artinya benar atau yakin, yaitu proses melapor kepada kepala lingkungan (kliang) laki-laki dan perempuan berdomisili oleh pihak laki-laki, bahwa telah membawa Iari anak perempuan, serta menjelaskan nama dan alamat orang tua perempuan, dengan tujuan bila orang tua melapor ke kepala lingkungan bahwa ia kehilangan anak perempuan, maka kepala lingkungan dapat menjelaskan perihal kejadian sehingga tidak memberatkan permasalahan. Begitu pula kepala lingkungan tempat berdomisili laki-laki tidak curiga bila ada perempuan tak dikenal di daerahnya, hal ini untuk mencegah terjadinya fitnah.

Sedangkan Selabar berasal dan kata abar (bahasa kawi antinya bersmnar-sinar, terang), yaitu proses anak perempuan mereka telah dibawa oleh laki-laki yang mencintai anak penempuan mereka. Dalam adat penkawinan Sasak bila tidak melakukan kesulitan untuk nuntut wali, karena orang tua perempuan menganggap anaknya diculik.

Selanjutnya masuk pada tahap nuntut wali yaitu prosesi mencari wali, sesuai syariat Islam, yang pantas menikahkan si gadis sebelum acara sorong serah dilaksanakan. Pernikahan menurut agama terjadi dalam proses ini. Setelah itu dilakukan bait janji adalah proses musyawarah utusan kedua belah pihak untuk membicarakan bagaimana penyelesaian masalah adat untuk prosesi sorong serah, aji krama yang dipergunakan untuk acara sorong serah, sekaligus membahas besarnya arta gegawean (adalah harta atau uang yang akan dibawa untuk diserahkan kepada pihak perempuan sebagai penunjang jalannya acara adat). Dalam proses ini terjadi pula prosesi pisuka Ian gantiran, yatu proses menimbang kesepakatan antar kedua belah pihak (laki-Iaki & perempuan) sebagal ganti atas kehilangan anak perempuan. Ada paham yang menyatakan pisuka itu adalah membayar atas kerelaan orang tua perempuan melepas anaknya.

Setelah semua tahap dilakukan, maka dilakukanlah sorong serah sebagai petanda legalitas perkawinan menurut adat Sasak. Tahapan-tahapan ini adalah prosesi inti dari perkawinan adat Sasak, dan dilengkapi prosesi adat lainnya antara lain nyongkol yaitu prosesi untuk mempublikasikan bahwa kedua insan telah menikah, begawe (pesta-kenduri-perhelatan-selamatan atas pernikahan yang terjadi), resepsi adat (acara tambahan setelah prosesi adat selesai dilaksanakan berisikan sambutan atas nama keluarga, nasihat perkawinan, doa dan ucapan selamat) dan bales honor nae (secara umum adalah napak tilas).

Dalam adat Sasak napak tilas ini bermakna kembali ke rumah pengantin perempuan, biasanya pada saat malam).

(Lalu Sadarudin, Ketua PEMBASAK/Lembaga Pengemban Budaya-Adat Sasak Kota Mataram)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar